Skip to main content

Tugas dan peranan hamba Tuhan


Kata peranan dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya, tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Berbicara tentang peranan hamba Tuhan, termasuk sesuatu yang kompleks, dalam hal
ini para hamba Tuhan perlu mengetahui dan mengerti dengan jelas apa yang diharapkan oleh Allah, anggota-anggota, organisasi, dan oleh diri mereka sendiri. 

Kehambaan menekankan presensia yang dinamis di tengah-tengah mereka yang lain. Dengan demikian tidak bisa dikatakan pasif sama sekali karena  hamba Tuhan harus hidup berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah. Tugas panggilan hamba Tuhan adalah kelanjutan dari misi Kristus yakni mengharuskan gereja hidup berpadanan dengan Injil Kristus dan berdiri teguh dalam satu roh dan satu tubuh, sehati sepikir berjuang untuk iman yang timbul oleh berita Injil dan mengharuskan gereja saling memahami, memperhatikan dan melayani demi kepentingan bersama.

Peranan seorang hamba Tuhan yang dipanggil untuk menggembalakan, ia sebenarnya bukan saja bertanggung jawab terhadap Tuhan dan bertanggung jawab kepada gereja yang digembalakan tetapi ia juga bertanggung jawab kepada ribuan jiwa yang belum di selamatkan, sebagai mana tanggung jawab seorang hamba Tuhan ialah, melayani jemaat sebagai pelayan, memperlengkapi anggota untuk melayani satu sama lain, kelompok maupun individu serta mewakili jemaat bagi gereja maupun dunia. Dan melayani sebagai penasihat semua kelompok dalam jemaat serta berperan sebagai pengawas dalam pelayanan.

Sebagai Pelayan berarti tidak memerintah tetapi melayani. Karena didalam gereja tidak ada istilah pendetakrasi, penatuakrasi atau majeliskrasi melainkan kristokrasi. Tugas yang diberikan adalah melayani dan melayani adalah kebalikan dari memerintah (Mat. 20:20-28; Mrk 10:35-45). Pada waktu Yesus memerintah dibuat oleh orang-orang Farisi, Ia menghendaki supaya murid-murid-Nya berbuat lain dari pada yang dibuat oleh orang-orang Farisi. Ia melarang mereka untuk menyebut seorang dari mereka “guru”, karena mereka hanya mempunyai satu Rabbi saja dan mereka semua adalah saudara (band. Mat. 23:8). Dengan demikian, sebagai pelayan ditengah-tengah gereja, harus mampu memberikan suatu keputusan, tetapi bukan atas prinsip dan kemauan sendiri, melainkan dengan kehendak Yesus yang sesuai dengan Firman Tuhan (wibawa pelayan itu).

Berdasarkan hal-hal yang dijumpainya dalam medan pelayanan yang cukup panjang, lebih dari 20 tahun, Trull dan Carter, menyerukan pentingnya sebuah kode etik atau peraturan yang memandu perilaku para pelayan Gereja atau “code of conduct”. Namun, bagi keduanya, kode etik atau panduan perilaku lain tidak harus menghilangkan kreativitas dan pengembangan otoritas kependetaan atau pelayan gereja. Hal itu tidak bisa terlalu rinci dan kaku, atau sebaliknya longgar dan tak ada petunjuk jelas. Mungkin lebih tepat adalah sebuah prinsip yang bisa dikembangkan oleh para pelayan gereja secara kreatif.

Sebagai prinsip dia harus cukup jelas, tetapi tidak harus mengatur secara detail tentang perilaku para pelayan. Sebab, kehidupan pelayanan gereja adalah sebuah ruang di mana kreativitas, kemandirian, dan kematangan personal dan moral sangat diperlukan. Dengan prinsip itu, para pelayan akan terus didorong mengembangkan pemikiran teologis dan etis yang berguna bagi pengembangan jemaat dan pribadi demi pertumbuhan pelayanan gereja, baik untuk warganya dan masyarakat yang lebih luas. Pendeta atau hamba Tuhan yang kreatif, mandiri, dewasa secara etis dan moral akan mampu tidak hanya menolong jemaat menghadapi kerasnya kehidupan dunia, tetapi juga mampu membawa gereja secara organisasional dalam berdialog dengan masyarakatnya, sehingga gereja akan selalu menjadi tempat bagi pencarian sumber moralitas dan etika bagi setiap orang. 

Hamba Tuhan bukan seorang event organizer, mengatur berbagai acara yang wah. Dia bukan seorang CEO gereja, yang bisa mengatur strategi bagaimana gereja bertumbuh. Dia bukan seorang administrator ulung, yang kerjanya menangani administrasi. Dia adalah seorang pelayan Firman, dengan belajar, menyampaikan Firman, berdoa dan memimpin sakramen, sekalipun dia melakukan berbagai kegiatan, tapi tugas utamanya adalah belajar firman Tuhan dan mengajarkan firman tersebut, berdoa dan mengajak jemaat berdoa.

Dalam surat Paulus kepada Timotius, ia menyerahkan tanggung jawab kepada Timotius supaya melaksanakannya, selain mengajarkan ajaran yang sehat dan memberitakan injil, juga harus mempertahankan iman jemaat. Ini adalah kewajiban gembala atau hamba Tuhan untuk memelihara kebenaran atau doktrin Injil yang diterima dan dianut di dalam gereja dan mempertahankannya terhadap semua oposisi. Ini adalah salah satu ujung utama pelayanan, salah satu sarana utama dari pelestarian iman yang disampaikan kepada orang-orang kudus (I Tim 1:3. - 4, 4:6-7, 16, 6:20; II Tim 1:14, 2:25, 3:14-17). 

Seorang gembala jemaat harus mengatur sopan santun dalam kebaktian jemaat agar kebaktian berjalan dengan teratur (I Kor. 14:26-40) serta menjalankan disiplin gereja. Yesus telah memerintahkan bahwa apa bila seorang percaya tidak mau tunduk dan menaati nasehat secara pribadi maka masalah itu harus diserahkan kepada gereja untuk didisiplin (Mat. 18:17). Paulus secara tegas sekali meminta agar jemaat di Korintus menjalankan disiplin jemaat (I Kor. 5:13).

Berikut beberapa tugas-tugas hamba seorang hamba Tuhan:

1) Hamba Tuhan Sebagai Konselor
Kata konselor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, anggota (staf) perwakilan di luar negeri, kedudukannya di bawah duta besar dan bertindak sebagi pembantu utama (pemangku) kepala perwakilan; orang yang melayani konseling; penasihat; penyuluh. Dengan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konselor ialah orang yang memilki tugas dan tanggung jawab dalam  kegiatan yang menguatkan, menghibur, yang dimintakan nasehat dan merunding dengan seseorang atau usaha yang dilakukan untuk membantu orang lain agar ia dapat menolong dirinya sendiri oleh proses perolehan pengertian tentang konflik-konflik batiniahnya.

Seorang hamba Tuhan memiliki banyak kesempatan untuk melayani manusia dan Allah, dia memiliki sebuah kesempatan untuk mengenal Kristus sebagai Juruselamat pribadinya dan berjalan bersama­-Nya sebagai sahabat, dia memiliki sebuah kesempatan untuk bergantung kepada Allah terhadap jawaban bagi semua kebutuhan manusia, dia memiliki sebuah kesempatan untuk memberitakan hal-hal yang ajaib dan hal-hal surgawi dari berita Injil, dia memiliki sebuah kesempatan untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Yesus, dan dia memiliki sebuah kesempatan untuk melayani sebagai seorang konselor bagi kebutuhan jemaat.

Ada beberapa fungsi dari seorang konselor yaitu, menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding), mendamaikan (reconciling) dan memelihara (nurturing). Dan seorang konselor harus mengakui bahwa, pelayanannya dipercayakan oleh Allah sendiri yang mutlak tergantung pada kuasa Roh Kudus serta didasarkan pada kebenaran Firman Allah. Adapun bentuk-bentuk pelayanan yang harus diperhatikan yaitu, percakapan, kunjungan rumah tangga, tempat-tempat penampungan, dan juga bentuk-bentuk lainnya seperti; pelayanan pastoral dengan surat dan telepon.
Tugas utama seorang hamba Tuhan yang adalah konselor ialah melakukan “pastoral konseling”. Kata Konseling berasal dari Bahasa Latin “consulere” berarti memberi nasihat. Sedangkan kata bahasa Inggris yang menunjukkan untuk kata konseling adalah consul yang artinya wakil, konsul;counsult yang artinya minta nasehat, berunding dengan; cosole yang artinya menghibur dan consolide yang artinya menguatkan. Bisa diartikan kata konseling adalah kegiatan sseorang yang menguatkan, menghibur seseorang.

Konseling sebenarnya merupakan salah satu teknik atau layanan di dalam bimbingan, tetapi teknik atau layanan ini sangat istimewa karena sifatnya yang lentur atau fleksibel dan komprehensif. Konseling merupakan salah satu teknik dalam bimbingan, tetapi merupakan teknik inti atau teknik kunci. Hal ini dikarenakan konseling dapat memberikan perubahan yang mendasar, yaitu mengubah sikap. Sikap mendasari perbuatan, pemikiran, pandangan dan perasaan, dan lain-lain. Konseling memegang peranan penting dalam bimbingan (counseling is the hearth of guidance), konseling sebagai pusatnya bimbingan (counseling is the centre of guidance). Sebab dikatakan jantung, inti, atau pusat karena konseling ini merupakan layanan atau teknik bimbingan yang bersifat terapeutik atau bersifat menyembuhkan (curative).

Adapun Dasar- dasar bagi titik tolak konseling Kristen dapat dijelaskan selanjutnya sebagai berikut: Sama seperti Allah sendirilah yang berinisiatif mencipta segala sesuatu, menopang ciptaan-Nya dengan Perjanjian Berkat dan setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah tetap berinisiatif “mencari” mereka untuk membebaskan, maka konseling Kristen pun perlu menekankan bahwa proses pelayanan konseling adalah “upaya” seorang hamba Tuhan yang merupakan inisiatif untuk mencari dan menolong para konseli yang lemah atau yang gagal.

Inisiatif “mencari menggaris bawahi bahwa konseling Kristen harus bersifat dinamis dan proaktif. Di sini konseling Kristen perlu menolak sikap menunggu dengan gaya pasif serta pesimistik. Konseling Kristen yang berinisiatif mencari, menekankan bahwa ada kuasa Roh Kudus sebagai dinamika yang menjamin bahwa ada saja jalan atau sikap positif untuk mengatasi dan memenangkan masalah dalam proses konseling.

Istilah Pastoral berasal dari “pastor” dalam bahasa latin atau dalam bahasa Yunani disebut “poimen” yang artinya gembala. Berbicara tentang gembala, Thurneysen merumuskan, “Penggembalaan merupakan suatu penerapan khusus Injil kepada anggota jemaat secara pribadi, yaitu berita Injil yang dalam khotbah gereja disampaikan kepada semua orang”. Herfst mengatakan bahwa tugas penggembalaan itu ialah, “Menolong setiap orang untuk menyadari hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan sesamanya, dalam situasinya sendiri.” Sedangkan menurut Faber, penggembalaan itu ialah tiap-tiap pekerjaan, yang di dalamnya si pelayan sadar akan akibat yang ditimbulkan oleh percakapannya atau khotbahnya, atas kepribadian orang, yang pada saat itu dihubunginya.”

Mengenai Konseling Pastoral, Susabda dalam buku Pastoral Konseling mendefinisikan Pastoral Konseling sebagai berikut, “Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal reathionship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb) sebagai konselor dengan konselinya (klien, orang yang minta bimbingan), dalam mana konselor mencoba membimbing konselinya ke dalam suasana percakapan konseling yang ideal (conducive atmosphere), yang memungkinkan konseli itu betul-betul mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya, dimana ia berada, dan sebagainya. Sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.” 

Berdasarkan uraian diatas Pastoral Konseling dapat berarti gembala atau hamba Tuhan yang memberikan nasihat, penghiburan dan penguatan bagi warga gerejanya. Pelayanan pastoral mempunyai sifat pertemuan yaitu: antara pastor atau hamba Tuhan dan anggota jemaat yang membutuhkan bantuan dan pelayannya, pertemuan antara mereka berdua dan Allah, yang sebenarnya yang memimpin dan memberi isi kepada pertemuan mereka. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai pastor sejati yang baik . Ungkapan ini mengacu kepada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan terhadap para pengikut-Nya.

2) Hamba Tuhan Sebagai Pengkhotba 
Khotbah termasuk dalam salah satu inti pelayanan kristiani. Maksud khotbah yang sebenarnya tidak lain adalah membantu orang untuk sampai pada pemahaman akan keadaan mereka sendiri dan keadaan akan dunia mereka yang sedemikian rupa, sehingga mereka dapat bebas untuk mengikuti Kristus yaitu menghayati hidupnya secara otentik. Pemahaman seperti inilah yang mampu menghantarkan manusia kepada firman Allah, sehingga hidupnya pun dapat diterangi oleh firman yang didengarnya. Berkhotbah adalah lebih dari pada sekedar menceritakan kembali kisah-kisah Alkitab.
Lebih dari pada membawa iman pada masa lalu ke masa sekarang. Bagaimana pun juga, pesan inti Injil tetap mengandung kebenaran yang belum seutuhnya dinyatakan pada setiap orang. 

Firman Allah selalu datang ke dunia , meskipun seringkali ditanggapi dengan ketidak acuhan dan kejengkelan. Orang yang berkhotbah diharapkan untuk dapat menyingkirkan halangan-halangan ini dan membawa orang atau jemaat kepada pemahaman yang benar yang dapat membebaskan mereka. Dalam hal ini, seorang pengkhotbah dituntut adanya keterbukaan dirinya untuk setiap dialog yang terjadi, meskipun tidak jarang pula keterbukaan tersebut menyakitkan bagi diri pengkhotbah. Namun, keterbukaan inilah yang menjadi inti spiritualitas pengkhotbah. Pengkhotbah adalah orang yang bersedia memberikan hidupnya bagi umatnya. Melalui diri si pengkhotbah, orang atau jemaat diharapkan dapat mengenali dan memahami karya Allah dalam hidupnya sendiri. 

Dalam dedicatory epistle bagi tafsiran surat Roma yang ditulisnya, Calvin mengatakan bahwa tugas seorang hamba Tuhan dalam menyampaikan Firman adalah sesuatu yang sangat mulia, kalau dia menyampaikannya dengan jelas, tidak bertele-tele, dan tepat sebagaimana dinyatakan Alkitab. Mengapa Calvin sangat mementingkan hal ini? Karena ini adalah cara jemaat Tuhan bisa bertumbuh. Jemaat Tuhan tidak akan bertumbuh dengan proposisi-proposisi rumit. Maka pengertian Calvin mengenai khotbah adalah adanya suatu konteks sensibilitas, yaitu suatu kesadaran untuk berespons secara lincah terhadap pendengar yang berbeda-beda pada saat yang berbeda-beda pula. 

Musa mengajarkan orang Israel, ia memberikan ispirasi dan mendorong umat itu melalui pengajaran firman Allah dengan menyusun hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan (Kel. 18:20). Sebuah gereja dapat berjalan di jalan Tuhan hanya jika gereja tersebut di ajar secara tepat dan benar. Sebelum mengerakan dan mendorong umat untuk maju, orang yang ditetapkan terlebih dahulu belajar menetapkan jalan, membuat peta perjalanan. Dengan taat pada firman Allah, gereja mendapatkan ketenangan dalam pertumbuhan.

Hamba Tuhan yang ditetapkan harus menjadi seorang yang penuh firman, sungguh-sungguh ditenggelamkan dengan firman Allah yang hidup dan mampu menyampaikannya. Dalam Kisah Para Rasul 6:2, rasul-rasul menunjukan problem yang sedang kita hadapi sekarang ini, yaitu terlalu banyak melakukan pelayanan meja dan kekurangan waktu untuk pemberitaan firman. Memberi makan kepada jemaat dengan firman Allah merupakan tugas dan tanggung jawab hamba Tuhan.

Ibadah adalah kata yang umum dan inklusif bagi berbagai peristiwa yang menegaskan kehidupan ketika gereja menyelenggarakan pertemuan bersama guna mengekspresikan iman mereka dalam puji-pujian, mendengarkan firman Tuhan, dan meresponi kasih Allah dengan berbagai karunia dari kehidupan. Ibadah adalah sumber dasar bagi segalanya dari gereja dan apa yang dilakukannya. Jika ibadah suatu gereja kekurangan integritas, autentisitas, keramahan, vitalitas, dan keyakinan, bias juga dikatakan hal-hal ini akan juga kurang dalam kehidupan yang lain.

Pelayanan sesungguhnya adalah menyampaikan berita Injil secara efektif. Tindakan pelayanan ini mulai jika seorang hamba Tuhan atau pengkhotba mulai menyampaikan kabar baik tersebut. Penyampaian berita Injil bukanlah sekedar pemberi informasih. Agar komunikasi menjadi lebih efektif maka, Injil harus berbicara dalam hati manusia dan diterapkan dalam kehidupannya. Salah satu cirri yang menonjol dalam dari seorang pengkhotba ialah wewenangnya. Ia tidak berbicara atas namanya sendiri, tetapi atas nama orang yang mengutus dia. Wewenang bukan hanya terdapat dalam perkataannya, tetapi dalam kesanggupan untuk bertindak atas nama oknum yang mengutusnya.
Melalui khotba orang-orang dibawa kedalam kerajaan Allah, dan dengan mengajar, mereka tetap teguh. 

Tanggung jawab seorang hamba Tuhan yang adalah pengkhotba, bukan hanya berkhotba dan mengajar tetapi juga menerima khotba dan ajaran, agar pengkhotba juga dapat dibangun dan diteguhkan oleh firman Allah. Dalam penyampain firan Tuhan, kesaksian pribadi juga merupakn hal penting yang dapat membangun iman jemaat. Salah satu contoh yaitu ketika Filipus menyampaikan Injil kepada orang Etiopia, yang Filipus tidak langsung berbicara kepadanya tentang Injil, akan tetapi sebaliknya ia mulai dengan pertanyaan yang maksudnya “bolehkah saya melibatkan diri dalam kehidupanmu?” sebagai tanggapan terhadap pertanyaan orang itu, Filipus mulai berbicara kepadanya tentang Kristus (Kisah Para Rasul 8:31). Dengan ini maka, seorang hamba Tuhan dapat menyampaikan Injil melalui kesaksian pribadinya.

3) Hamba Tuhan Sebagai Teladan
Teladan artinya sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk di contoh, tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya. Pelajaran yang dapat dipetik, apabila berkomitmen menjadi pelayan Tuhan seperti gembala, pendeta atau majelis adalah sebagai berikut, yakni: Kehidupan mereka adalah cermin yang memantulkan prinsip-prinsip ajaran Tuhan yang ingin diikuti pengikut atau jemaatnya, siap menderita artinya menuntut ketekunan, kerendahan hati dan resiko, konsisten antara tindakan dan ajaran Firman Tuhan sebagai petunjuk kehidupan orang percaya. 

Kristus dalam menjelaskan mengenai proses pelayanan penggembalaan atas umat-Nya, menekankan bahwa gembala atau hamba Tuhan harus dapat diteladani. Tuhan Yesus tetap memposisikan diri-Nya selaku pemberi teladan, harus bisa menunjukkan arah dan berani tampil sebagai figur pemberi teladan, haruslah terus dan tetap menjadi penunjuk arah perjalanan kehidupan jemaat di dalam Kristus. Ia harus tahu kemana jemaat diarahkan, ia harus mempunyai perkiraan tujuan akhir yang hendak dicapai, ia harus bisa memberi teladan yang baik. Rasul Paulus menuturkan, “Sebab itu aku menasehatkan kamu: turutilah teladanku” (1 Kor. 4:16). Untuk menjadi teladan itu memang tidak mudah. Lebih mudah membuat suatu contoh atau teladan dari pada harus menjadi contoh atau teladan. Menjadi contoh atau teladan memang hal ini sulit, namun hal inipun sangat penting. 

Kitab suci menekankan bahwa seorang hamba Tuhan harus dipimpin oleh kehidupan pribadinya dan menjadi contoh yang berharga bagi jemaatnya. Paulus  tidak pernah berhenti menyerukan hal itu, tanpa sebuah keegoisan, untuk medorong orang-orang yang percaya agar mengikuti dia dalam contoh hidupnya. Dia menulis kepada jemaat Korintus, “Jadilah pengikutku sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Kor. 11:1). Dia menulis kepada jemaat yang ada di Filipi: “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Fil. 4:9). Dia juga kepada jemaat Tesalonika, “Kamu adalah saksi demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu yang percaya” (1 Tes. 2:10).  

Paulus mendesak Timotius yang merupakan anaknya dalam pelayanan dengan kata-kata ini, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu” (1 Tim. 4:12). Seorang pelayan juga harus memiliki sebuah kesalehan  (1 Tim. 4:12). Dia merupakan sebuah model bagi jemaat. Dia harus menjadi corong iman (1 Tim. 1:13; Titus 2:1). Dia harus memiliki kapasitas mental yang baik dan terlatih dalam pengetahuan Kitab Suci (2 Tim. 2:15). Dia harus cakap mengajar orang (1 Tim. 3:2; 2 Tim. 2:2; 2 Tim. 2:24-25). 

Seorang Hamba Tuhan bukan hanya ketika berada di atas mimbar tetapi akan lebih berkuasa, lebih dinamis, lebih efektif juga didalam kehidupannya sehari-hari yang terlihat di depan mata jemaatnya. Philips Brook berkata, “Yang paling utama dari semua kuasa elemen yang membuat sukses, adalah saya harus meletakkan kepentingan karakter dari pribadi yang benar, dan secara murni menekankan diri mereka atas manusia yang bersaksi terhadap mereka.” Quintilian berkata bahwa pembicara yang baik haruslah menjadi orang yang baik. Fransiskus dari Asisi membuat poin yang sama ketika dia berkata, “Tidak ada gunanya pergi kesetiap tempat untuk berkotbah kecuali kita berkotbah disaat kita sedang pergi.” 

Stark, seorang ahli sosioligi mengatakan, “Seorang pelayan harus bertanya pada diri sendiri,” apakah yang merupakan tulah-tulah, wabah penyakit atau epidemic dari masa kini? Tulah dan wabah penyakit ini bisa bersifat jasmani, psikologi atau bahkan intelektual. Selanjutnya, bagaimana kita dapat tetap menjaga diri kita terbuak dan terus memelihara hubungan dengan orang-orang yang terisolasi sedemikian rupa? Ini merupakan tantangan yang sangat besar dan kesempatan yang luar biasa, tetapi juga perlu strategi baru dan belas kasihan  yang lebih besar.

4) Hamba Tuhan Sebagai Pemimpin
Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, salah satu syarat bagi seorang hambaTuhan yang adalah pemimpin yaitu, dipenuhi dengan Roh Kudus. meskipun pelayanan yang akan mereka lakukan bukan pelayanan rohani. Mereka haruslah orang-orang yang tulus hati, yang terkenal baik, yang bijaksana, yang penuh hikmat, yang rohani dan yang penuh dengan Roh. Sifat rohani tidak mudah didefinisikan, tetapi ada atau tidak adanya sifat ini mudah sekali dilihat. Orang yang penuh dengan Roh dapat mengubah suasana melalui kehadirannya, karena ia mempunyai pengaruh yang tidak disadarinya, yang menyebabkan Kristus dan hal-hal rohani menjadi nyata untuk banyak orang. 

Jelaslah bahwa kepemimpinan sama sekali bukan tentang gaya atau teknik, melainkan tentang karakter. Alkitab mencatat sejumlah gaya kepemimpinan yakni, Elia adalah seorang nabi yang sering menyendiri; Petrus berwatak kasar; Yohanes berhati lembut; Paulus adalah pemimpin yang dinamis, bahkan ketika ia dibelenggu dengan rantai kemana-mana. Ia mempengaruhi orang terutama dengan kata-katanya yang berwibawa, pada hal secara fisik ia tidak terlihat perkasa. Mereka adalah orang-orang yang bertindak  secara nyata, yang memanfaatkan karunia masing-masing dengan cara yang sangat berlainan. 

Walaupun Paulus tidak secara eksplisit mengungkapkan memimpin dalam hal apa saja, tetapi dari setiap ungkapan Paulus dapat dilihat bahwa kepemimpinan yang dimaksud menyangkut kepemimpinan dalam hal organisasi, kerohanian jemaat bahkan keluarga mereka sendiri. Dalam 1 Tesalonika 5:12 “Mereka yang memimpin kamu dalam Tuhan,” Paulus tidak memakai gelar mereka, tetapi kemungkinan besar mereka adalah penatua-penatua (presbuteroi), karena menurut Kisah Para Rasul, Paulus dan rekan-rekan sekerjanya mempunyai kebiasaan untuk mengangkat penatua-penatua dalam setiap jemaat yang mereka dirikan (Kis. 14:23).

Para penatua diberikan tugas untuk memimpin jemaat kepada kedewasaan, pemahaman akan firman Tuhan, karakter yang serupa dengan Kristus dan kesalehan hidup. Para penatua bertanggung jawab dalam hal ini. Apabila melihat konteks jemaat pada waktu itu, sistem manajemen mereka tentunya tidak semoderen atau profesional sekarang, tetapi dapat diyakini bahwa inti dari semua tugas para penatua supaya mereka menjadi pemimpin di kalangan jemaat. Hal ini sangat perlu ditegaskan oleh Paulus mengingat bahwa berbicara tentang gereja menyangkut dengan orang banyak yang perlu dikelola. Walaupun secara organisasi bahwa yang sudah ada yang menjadi pemimpin mereka yaitu Timotius atau Titus atau rekan Paulus yan lain, mereka masih membutuhkan para penatua untuk menjadi pemimpin dalam jemaat-jemaat. Mungkin saja di beberapa wilayah atau kelomok-kelompok tertentu mereka membutuhkan seorang pemimpin yang tidak akan mungkin dijangkau oleh Titus atau Timotius.

Hamba Tuhan haruslah memimpin dengan hati gembala di mana ini berbicara tentang melayani, menuntun, mengarahkan, menantang, dan membantu untuk bertumbuh. Sudah dibuktikan bahwa orang yang dipimpin tidak dapat digerakkan dimotivasi oleh sebuah birokrasi atau prosedur sebagaimana teori manajemen. Orang hanya digerakkan oleh visi, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan keyakinan tentang diri (Robert J. Stevens). Hal ini diperkuat juga oleh tokok kepemimpinan D’Souza, yang mengatakan tentang kepemimpinan gembala sebagai berikut: 

Bagi pemimpin-gembala, produknya adalah para pengikut. Bukan keuntungan , bukan pangsa pasar. Para pengikut itu sendiri yang menjadi tujuan dan produk dari upaya pemimpin gembala atau hamba Tuhan. Dan karena itu, ketika dombanya tetap hidup menghadapi berbagai bahaya dalam perjalanan, ketika mereka bertambah kuat, gembala dengan setia menunaikan tugasnya. Domba memang harus dibimbing, didorong, dan dimotivasi untuk mencapai kinerja terbaik. 

Tren kepemimpinan telah berkembang sangat pesat dan dapat dengan mudah dipelajari secara mandiri. Bahkan nilai dan prinsip biblika telah mewarnai semua lini prinsip ilmu kepemimpinan. Namun dalam lini praktika, gereja diperhadapkan dengan kompleksitas kultural, masalah sosial, dan konteks yang sangat beragam. Saat ini pemimpin tidak boleh berhenti dengan penerapan kepemimpinan dalam kehidupan.  Ada banyak keunikan yang akan ditemukan di lapangan. Seperti kata Clinton, pemimpin sedang memasuki “university of life”, di mana penerapan nilai kepemimpinan tidak pernah berhenti. Nilai-nilai itu harus terus digali. 

Salah satu hal yang menjadi solusi dalam kepemimpinan sat ini adalah perlunya pengembangan kepemimpinan yang berhati gembala. Nilai ini bersumber dari Yesus sendiri lewat hidup dan pengajaran-Nya.  Prinsip itu didasarkan kepada kebaikan, ketulusan hati, kecakapan, dan kesetiaan dalam kebenaran. Prinsip ini kekal, namun penerapannya membutuhkan waktu dan kerja keras di dalam konteks masyarakat pascamodernitas ini. 

Hal ini ditegaskan dengan pernyataan D’Souza tentang hasil dalam menerapkan pemimpin-gembala, “Oleh karena itu, gembala adalah model bagi para pemimpin dari segala organisasi, termasuk perusahaan industri dan komersial. Pemimpin dituntut untuk bertindak sebagai gembala sejati atas organisasinya, yang pertama-tama dan terutama dilihat sebagai komunitas manusia. Dengan demikian, pemimpin semacam ini akan memperoleh loyalitas dan komitmen dari para pegawai dan pelanggan, dan pada gilirannya akan meraih apa yang tidak pernah dapat diperintahkan oleh pemimpin lain.

Hamba Tuhan Sebagai Agen Perubahan  
Hamba  Tuhan yang mencoba untuk menerapkan prinsip-prinsip pertumbuhan gereja ke dalam gereja mereka, dengan sendirinya berfungsi sebagai agen-agen perubahan. Itu artinya mereka harus berhadapan dengan sebuah kelompok social (jemaat) yang selama bertahun-tahun sudah mengembangkan tradisi kehidupan gereja tertentu. Tradisi-tradisi tersebut secara tidak langsung sudah menjadi bagian dari identitas diri mereka. Beberapa diantaranya sangat susah diubah tetapi semua itu perlu di ubah supaya gereja biasa bertumbuh. 

Namun untuk setiap perubahan yang drastis seorang hamba Tuhan perlu mengambil paling sedikit empat langkah yaitu, sebagai berikut:  

Pertama, bagikan visi. Visi yang dimaksud ialah ke arah mana Allah menghendaki gereja tersebut. Visi itu harus dikomunikasikan kepada jemaat dengan cara tertentu yang membuat mereka bersemangat dan rela untuk melakukan bagian mereka masing-masing guna mewujudkan visi itu. Jalur komunikasi yang tepat bias berbeda dalam setiap gereja, namum mimbar selalu konstan, jadi sebelum mengumumkan sasaran pastikan fondasi pekerjaan sudah di pasang dengan benar. 

Kedua, akumulasikan umpan balik (berupa komentar-komentar). Ada pepatah yang mengatakan terdapat hikmat di dalam kumpulan para penasehat. Jika Allah sudah memberikan sebuah visi, biasanya visi itu masih dalam bentuk janin dan oleh sebab itu, masih memerlukan banyak perbaikan dan perkembangan sebelum menjadi kenyataan. Disini sesorang hamba Tuhan memerlukan nasehat dari jemaat, tidak Cuma memerlukan ide mereka saja, tetapi juga supaya mereka merasa mereka pemilik visi tersebut.  Jadi, berikan prioritas yang tinggi untuk membuak saluran-saluran umapan balik. 

Promosikan keharmonisan di dalam diri. Hamba Tuhan yang adalah seorang agen perubahan, harus menyadari bahwa semua orang dalam gereja akan jatuh di sekitar sebuah spectrum dari yang radikal melalui yang progresif dan yang konservatif sampai yang tradisionalis pada ekstrim yang lain. Jika seorang hamba Tuhan mengetahui posisi orang-orang yang akan di hadapi, pengetahuan itu akan membantu untuk menentukan pendekatan macam apa yang perlu dilakukan. 

Keempat, kenali pewaktuan yang tepat. Ketika seorang agen perubahan sudah tahu bahwa dia sudah memperoleh kepemilikan sasaran dari para anggota, itu berarti seorang agen tersebut sudah mendapatkan lampu hijau untuk maju terus kedepan. Dan jika mereka sudah merasa bahwa mereka bagian dari proses perubahan tersebut, dan jika mereka sudah sungguh-sungguh menangkap visi itu, maka hamba Tuhan yang adalah agen perubahan tersebut sudah bias menggerakan mereka untuk menyumbangkan waktu, tenaga dan biaya untuk perubahan yang dimaksud.



 





Popular posts from this blog

Tugas Panggilan Gereja

Allah memanggil umat-Nya untuk datang bersekutu kepada-Nya, panggilan ini dipahami oleh suatu manifestasi konkrit Allah mewujudkan   tugas-Nya dalam proses keselamatan manusia yang telah dirancang-Nya sejak kedatangan Tuhan Yesus yang pertama hingga kedatangan-Nya untuk yang kedua kalinya. Jadi tugas yang olehnya gereja terpanggil untuk melaksanakannya, bukanlah tugas gereja secara pribadi, melainkan tugas Allah yang dipercayakan kepada gereja.

Berbagi Ilustrasi Khotbah Kristen

1). Kasih Suami dan Istri Sebuah kisah tentang sepasang suami istri yang   sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar dan suaminya menghardik istrinya dengan sangat keras. Istri yang kena hardik, merasa sakit hati, tapi tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir: Hari ini suamiku menyakiti hatiku.

Kumpulan Syair Lagu Rohani Terbaru

1) Penolong Hidupku Saat ku dalam kesesakan Yang kuharap hanya KAU TUHAN Saat badai hidup menerpa Masih ada TUHAN bagiku Saat semua jalan tertutup Tiada yang sanggup menolong Saat air mata tercurah Masih ada Tuhan bagiku.