A. Latar belakang
Awal
mula Levirat dapat kita kenal dari perkawinan Hukum Musa, yaitu
perkawinan levirat atau perkawinan ipar, dalam Yudaisme, adalah salah
satu jenis yang paling kompleks pernikahan diamanatkan oleh hukum Taurat
(Ulangan 25:5-10) di mana menurut hukum ini, saudara dari laki-laki
yang meninggal tanpa anak-anak mempunyai kewajiban untuk menikahi janda.
Namun, jika salah satu pihak menolak untuk pergi melalui dengan
pernikahan, keduanya diminta untuk pergi melalui suatu upacara yang
dikenal sebagai Halizah, melibatkan tindakan simbolik penolakan hak
mereka untuk melakukan pernikahan ini. Hukum Yahudi (Halakha) telah
melihat penurunan bertahap yibbum mendukung Halizah, ke titik di mana di
sebagian komunitas Yahudi kontemporer yang pertama sangat tidak
dianjurkan.
B. Defenisi
Kata
levirat berasal dari bahasa Latin yaitu levir yang berarti saudara si
suami. Sedangkan di dalam bahasa Ibrani kata ini ditulis dengan yabam:
saudara suaminya. Dalam terjemahan baru Alkitab diartikan melakukan
kewajiban perkawinan ipar. Juga kata levirat telah di indonesiakan oleh
beberapa teolog dengan mengistilahkannya dengan kata perkawinan anggan,
perkawinan ipar, atau istilah turun ranjang. Semua istilah ini mempunyai
makna yang sama. Jadi, kata ini bisa diartikan sebagai satu kewajiban
atau tugas yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki jika saudaranya
meninggal dan tidak memiliki keturunan maka ia akan menikah dengan
perempuan tersebut . Disebut sebagai kewajiban atau tugas karena sudah
menjadi ketentuan dalam sistim perkawinan kebiasaan bangsa Israel dan
dituntut di dalam undang-undang alkitabiah yang berlaku dalam setiap
keluarga.
C. Prasyarat
Menurut Konsep Alkitab
- Bahwa seorang laki-laki meninggal tanpa anak yang meninggalkan seorang istri dan dengan demikian tidak memiliki pewaris yaitu anak dari hubungan suami istri. Istrinya yang berstatus janda wajib melakukan perkawinan ipar dengan saudara suaminya.
- Perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya, tidak diperkenankan untuk kawin dengan orang lain. Orang lain yang dimaksud adalah orang diluar marga almarhum suaminya. Ulangan 25:5 “....maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya”.
- Perkawinan ipar ini sifatnya mengikat antara perempuan dengan keluarga suaminya (saudara-saudara laki-laki dan ayah). Ulangan 25:5 “....saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya...”
- Ulangan 25:5 “... orang-orang bersaudara tinggal bersama-sama...” Peraturan tentang perkawinan ipar berlaku hanya dalam keadaan, dimana anak-anak laki-laki yang sudah menikah tetap tinggal, beserta dengan isteri dan anak-anaknya bersama-sama dengan orang tuanya sebagai satu keluarga besar.
Konsep Go’el (penebus)
Goel
(go'el) adalah istilah Ibrani yang berasal dari kata gal'al ("untuk
menebus"), maka berarti "penebus", yang dalam Alkitab dan rabbi tradisi
menunjukkan seseorang yang sebagai relatif terdekat lain dibebankan
dengan tugas memulihkan hak-hak lain dan balas dendam kesalahannya.
Kewajiban Goel termasuk kewajiban untuk menebus relatif dari perbudakan ,
jika yang terakhir telah diwajibkan untuk menjual dirinya ke perhambaan
(Imamat 25: 48-49), untuk membeli kembali milik seorang kerabat yang
terpaksa menjualnya karena kemiskinan; untuk membalas darah saudaranya,
untuk menikahi janda saudaranya untuk memiliki anak untuk saudaranya.
Konsep Halizah
Halizah
(atau Chalitzah; Ibrani : חליצה) adalah upacara dimana seorang janda
dan adik suaminya bisa menghindari kewajiban untuk menikah setelah
kematian suaminya. Upacara melibatkan melepas kasut kakak ipar dengan
janda dari seorang saudara yang telah meninggal tanpa anak, di mana
upacara dia dibebaskan dari kewajiban menikahinya, dan dia menjadi bebas
untuk menikah siapa saja yang dia inginkan ( Ulangan 25 :5-10 ). Hanya
satu kakak ipar perlu melakukan upacara. Kebiasaan lama dari pernikahan
turun ranjang ( Kejadian 38:8 ) dengan demikian dimodifikasi dalam kode
Deuteronomis, dengan mengijinkan saudara yang masih hidup untuk menolak
untuk menikahi janda saudaranya, asalkan ia tunduk kepada upacara
Halizah. Ulangan 25:7-10.
Secara
teori, bagaimanapun, hukum Alkitab pernikahan turun ranjang masih
dianggap berlaku, dan dalam upacara halizah, anggapan adalah bahwa
saudara ipar membawa aib pada diri sendiri dan kepada keluarganya dengan
menolak untuk menikahi janda saudaranya.
Konsep di luar Alkitab
Perkawinan
ipar tidak terbatas kepada Israel, melainkan tersebar beberapa negara
di Asia-Afrika dan Amerika Selatan. Peraturannya dan pelaksanaannya pun
tidak terlalu berbeda jauh dengan konsep Alkitab, antara lain;
- Jika isteri seorang pria meninggal, kemudian dia menikah dengan adik isterinya, maka dia tidak dianggap bersalah
- Jika seorang pria sudah beristri, kemudian pria itu meninggal, maka adiknya akan mengambil isteri itu. Danberikutnya jika adik itu meninggal, hendaklah ayahnya itu mengambil isteri tersebut. Jika selanjutnya ayah itu meninggal, hendaklah anak adik almarhum mengambil istri itu. Orang yang berbuat demikian dianggap tidak bersalah.
D. Tujuan Perkawinan Ipar
1). Melestarikan
nama dan marga almarhum di Israel, Ulangan 25:6. Sistim perkawinan
ipar tersangkut erat dengan soal memelihara nama saudara, supaya nama
itu jangan terhapus dari antara orang Israel. Alasan ini berakar dalam
adat dan alam pemikian kuno. Prinsip pelestarian nama anggota-anggota
keluarga Israel tergambar dalam Hak. 21:3. Prakteknya, anak sulung dari
perkawinan ipar ini, haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah
mati, agar nama itu jangan terhapus.
2). Mengatur
kesejahteraan janda. Pernikahan turun ranjang berfungsi sebagai
perlindungan bagi janda, memastikan bahwa mereka memiliki penyedia
laki-laki bertanggung jawab bagi mereka. Praktek ini sangat penting
dalam masyarakat kuno (misalnya, Israel dan Timur Dekat ), dan tetap
dilakukan sampai hari ini di beberapa bagian dunia. Sebuah pernikahan
turun ranjang hanya mungkin terjadi jika seorang pria meninggal tanpa
anak, dalam rangka untuk melanjutkan garis keluarganya.
3).
Menjaga agar tanah warisan si almarhum tetap di dalam lingkungan
keluarga. Sesuai dengan undang-undang kepemilikan tanah mengatur bahwa
si pemilik harus tetap bagian dari keluarga dan tidak boleh diasingkan.
Bagian dari keluarga maksudnya adalah anak atau keturunan (laki-laki
ataupun perempuan) dari si pemilik tanah sebelumnya. Setiap keluarga dan
keturunan segaris mempunyai warisannya sendiri. Karena alasan inilah
perkawinan ipar harus dilaksanakan.
Contoh Perkawinan Ipar
a).
Berkaitan dengan Yehuda dan Tamar (Kejadian 38:6-26). Tamar membujuk
ayah mertuanya, Yehuda, untuk memberikan levirat baginya setelah Er,
suaminya anak tertua Yehuda mati. Onan, anak kedua Yehuda tidak mau
memenuhi kewajiban sebagai seorang levir. Yehuda kemudian mencegah
Syela, anak bungsunya untuk memenuhi levirat. Akhirnya Tamar menyamar
sebagai seorang pelacur dan menutupi mukanya dengan telekung atau cadar,
mengakali mertuanya laki-laki, Yehuda, supaya melakukan hubungan seks
dengan dirinya. Sebagai hasilnya, Tamar melahirkan anak kembar, Peres
dan Zerah.
b).
Melibatkan Boas dan Rut, sebenarnya ada famili dekat dari suaminya yang
akhirnya mundur untuk memenuhi peranan levir. Di dalam kisah ini ada
pertemuan tiga konsep kunci alkitabiah: levirat, genealogi, dan
warisan. Boas, sebagai seorang kerabat jauh, memenuhi levirat dengan
menikahi Rut sehingga mengabadikan nama suaminya, Mahlon. Pada saat yang
sama, Boas juga menebus properti keluarga.
Kepustakaan
I.J.Cairns, Tafsiran Alkitab; Ulangan 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986)
Isak Suria, Kitab Kejadian, (Malang: GTI Bukit Zaitun, 2006)
Isak Suria, Kitab Pentateukh, (tidak diterbitkan: Surabaya: Sekolah Teologia Tertulis GPPS, 1999)
King, Philip J. & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010).
Wolf, Herbert, Pengenalan Pentateukh, (Malang: Gandum Mas, 2004)
Comments